foto dok cnbcindonesia.com. (ist) |
Kemarin, Kementerian Luar Negeri India mengonfirmasi aksi kekerasan yang dilakukan tentara China pada Senin (15/6/2020) malam di sepanjang perbatasan di Lembah Galwan di Ladakh. Di sana, tentara dari kedua negara berada dalam bentrokan sejak bulan lalu. Pertemuan para pejabat senior militer dari kedua belah pihak pada 6 Juni malah memperburuk situasi.
"Pada petang dan malam tanggal 15 Juni 2020, sebuah pertempuran sengit terjadi sebagai hasil dari upaya pihak China untuk secara sepihak mengubah status quo di sana. Kedua belah pihak menderita korban yang bisa dihindari seandainya perjanjian di tingkat yang lebih tinggi diikuti dengan teliti oleh pihak China," kata Anurag Srivastava, juru bicara resmi untuk Kementerian Luar Negeri India, dikutip dari CNBC Internasional.
Dalam sebuah pernyataan, Tentara India mengatakan 20 anggota tentara terbunuh dan pasukan dari kedua belah pihak kini telah melepaskan diri.
Kementerian Luar Negeri China mengonfirmasi ada "konfrontasi fisik yang kejam" di perbatasan, tetapi tidak menyebutkan korban. Menurut laporan Reuters, mereka mengatakan ada pelanggaran serius terhadap konsensus yang dicapai oleh kedua pihak.
Tentara Pembebasan Rakyat China mengatakan pasukan perbatasan India "mengingkari komitmen mereka" dan "secara serius melanggar perjanjian dan protokol" tentang masalah perbatasan antara kedua pihak.
Menurut Harsh V Pant, kepala program studi strategis di Observer Research Foundation di New Delhi, bentrokan tersebut tidak terduga. Ini karena kedua belah pihak melakukan dialog serius untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan.
"Jelas, krisis ada di perbatasan, tetapi kedua belah pihak berusaha menyelesaikannya, dan tampaknya pada satu titik, dalam beberapa hari terakhir, proses pelepasan telah dimulai," katanya pada Rabu (17/6/2020).
Baik China dan India menuduh satu sama lain melanggar perjanjian 6 Juni. Menurut Kelsey Broderick, analis China di konsultan Eurasia Group, saling tuduh itu menyulitkan kesepakatan yang ada.
"Fakta insiden 15 Juni, terlepas dari kematian, tidak berubah menjadi konflik yang lebih besar adalah salah satu sinyal positif bahwa para petinggi di kedua belah pihak tidak tertarik untuk memicu perang apa pun," kata Broderick.
Broderick menjelaskan India dan China kemungkinan akan kembali ke eskalasi, tetapi prosesnya akan "lebih lama secara signifikan" dengan risiko yang lebih tinggi dari gejolak lain. Kedua pemerintah harus mengatasi sikap domestik yang keras terhadap pihak lain dan menolak untuk melakukan pembalasan.
"Jika pembicaraan di tingkat militer dan kementerian luar negeri gagal, pembicaraan antara Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Narendra Modi kemungkinan akan mencegah kejatuhan besar," kata Broderick.
Namun, para analis memperkirakan masih ada risiko bentrokan perbatasan yang lebih besar, terutama jika ribuan tentara terus saling berhadapan di sepanjang daerah perbatasan yang disengketakan. Selain itu, bentrokan terbaru ini diperkirakan akan semakin memperburuk hubungan bilateral antara India dan China.
Setidaknya kini sudah ada sentimen anti-China yang tumbuh di India, yang mana masyarakat mulai memboikot produk-produk China. India juga memperkenalkan langkah restriktif terhadap investasi dari China.
Hubungan diplomatik China dengan Amerika Serikat dan India juga terganggu. Jika terus seperti ini, menurut Harsh V Pant, India kemungkinan besar akan memperkuat hubungan dengan AS.
Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Vietnam yang juga bermasalah dengan China, dapat melakukan hal yang sama dengan India. Tentu hal itu disinyalir akan melemahkan posisi China. (sumber : cnbcindonesia.com)
Bagikan