Balda Pramana, SH,MKn. |
Oleh
Baldi Pramana, SH. MK,n
Praktisi Hukum, Anggota Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia
Persoalan konflik agraria/ pertanahan di Pasaman Barat teramat banyak dan terlalu sering disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat agar ini diselesaikan dengan tuntas (win-win solution), baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok tani, perwakilan tokoh-tokoh dan barisan masyarakat langsung terdampak konflik agraria/ pertanahan. Konflik yang berlarut-larut, menumpuk tanpa ada penyelesaian, menyebabkan kerawanan sosial dan ketertiban.
Minimnya perhatian dari pemerintah, akhirnya mengurai benang merah akar masalah dan solusi bagi kelompok masyarakat terpapar konflik selama ini tersandera oleh kepentingan keamanan dan kepastian berinvestasi. Dan sepintas konflik terkesan dibiarkan, meski berbagai tuntutan penyelesaian konflik bermunculan dari kelompok-kelompok tersebut.
Akan tetapi, beberapa hari belakangan dari pemberitaan media sosial di Pasaman Barat pasca dilantiknya Bupati dan Wakil Bupati H. Hamsuardi dan H. Risnawanto menunjukkan angin segar. Soalnya, penanganan konflik agraria / pertanahan menjadi prioritas kerja bagi kepala daerah itu.
Dari prioritas itu, yang harus dikumandangkan ialah menekankan kembali kewajiban perusahaan kepada masyarakat sekitar lingkungan perusahaan utamanya dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai dampak dari pembangunan berwawasan social environment.
Selanjutnya, pembentukan Tim Harmonisasi antara pemerintah dengan perusahaan, serta antara perusahaan dan masyarakat. Dan terpenting lagi yaitu meninjau kembali perizinan baik itu HGU maupun yang lainnya.
Sebagai warga Pasaman Barat, sangat menantikan bagaimana implementasi dari program Bupati dan Wakil Bupati Pasaman Barat ini. Penanganan konflik agraria/ pertanahan telah menjadi program kerja H. Hamsuardi dan H. Risnawanto dan selaras dengan program Pemerintah Pusat.
Penangganan konflik agraria/ pertanahan telah menjadi agenda kerja Presiden dan para Kepala Daerah melalui program reformasi agraria/ pertanahan. Kebijakan landreform Pemerintah Pusat membangun atau membentuk/menata kembali struktur pertanian baru, dan ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat kecil yang termarjimalkan oleh keberadaan perkebunan-perkebunan besar di wilayahnya.
Adapun tujuan landreform sendiri adalah, pertama untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil, dengan merombak struktur pertanahan secara revolusioner merealisir keadilan sosial.
Kedua, untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan alat pemerasan.
Ketiga, untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia yang berfungsi sosial.
Keempat, untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran/tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalime atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomis yang lemah.
Kelima, untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong-royong lainnya. Menelisik studi literatur pemetaan konplik agraria/ pertanahan di Pasaman Barat, terjadi antara perusahaan dengan warga dan antar perusahaan dengan kelompok tani meski tidak tertutup ada juga masalah antar tanah ulayat kaum dengan ulayat masyarakat lain, baik terkait Hak Guna Usaha yang dikelola perusahaan, Hak Milik, Hak Pengelolan Tanah Ulayat baik oleh Koperasi atau Yayasan perkebunan yang hampir menyebar di beberapa titik.
Salah satu contoh konflik antara masyarakat Air Gadang dengan PT. Anam Koto, tuntutan masyarakat Manggonang dengan PT. Anam Koto, tuntutan masyarakat Silambau Lubuak Sarung Kinali terhadap PT. Perkebunan Nusantara VI, sengketa penyerahan lahan antara Kelompok Tani Semangat Baru dengan PT. Permata Mulia Jaya KUD Damai Sejahtera Kinali, sengketa lahan Hutan Tanaman Rakyat/ HTR di Kecamatan Sungai Bremas dan sengketa terbaru yaitu tuntutan masyarakat Nagari Muaro Kiawai atas HGU perusahaan PT. Anam Koto dan tuntutan Warga Maligi terkait penyerahan 200 hektar HGU PT. Gresindo Minang Plantation.
Jika di urut ke belakang, akar konflik agraria/ pertanahan di Pasaman Barat berawal dari dimulainya perkebunan Ophir pada masa penjajahan Belanda, yang pada waktu itu disebut Onderneming Ophir.
Pada 1932 Onderneming Ophir dengan lahan seluas 4.600 hektar ditanami kelapa sawit dan kopi secara besar-besaran oleh perusahaan NV Kultuur Maatschapply, yang berpusat di Amsterdam Belanda. Keadaan ini, berlangsung hingga 1970-an, ketika Pemerintah Indonesia baru merdeka dan sedang memikirkan strategi pertumbuhan perekonomian negara, maka salah satu kajian strategis yaitu melalui perkebunan kelapa sawit di daerah potensial, sampai dengan 1980, pemerintah Indonesia berhasil membentuk pola PIR.
Proyek ini didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat atas persetujuan dari Menteri Pertanian RI lewat surat SPBN No. 156AGUBC1979, dimana menugaskan PTP VI Persero sebagai pelaksana proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Proyek NESP Ophir mulai dibangun pada 3 Maret 1981 dengan bantuan kredit dari pemerintah Jerman Barat. Di Pasaman Barat, penanaman dilakukan secara betahap sejak 1982 sampai dengan 1994 dan PTPN VI telah berhasil membangun kebun kelapa sawit seluas 8.056 hektar dan menyerap lapangan kerja dari Jawa dan Sumatera.
Disebabkan topografi Pasaman Barat berada pada wilayah dataran rendah dan curah hujan tinggi di atas rata-rata, membuat tanaman kelapa sawit sangat cocok di kembangkan di Pasaman Barat, melalui kemudahan berinvestasi di bidang perkebunan kelapa sawit.
Pemerintah daerah menyediakan lahan selain di Kecamatan Luhak Nan Duo ( lokasi PTPN VI), seperti Kecamatan Kinali, Pasaman, Sungai Aur, Koto Balingka, Sungai Beremas dan Kecamatan Ranah Batahan. Kemudahan memperoleh izin dan ketersediaan lahan pengelolan tanah ulayat untuk kepentingan perusahaan berkebunan kelapa sawit, membuat investor luar terdorong menanamkan modal secara besar-besaran.
Disadari atau tidak kebijakan ini, seperti mengobral perizinan bagi pemodal sejak sekitar awal 1990-an. Dimana, satu persatu perusahaan perkebunan menyusul mendirikan usaha, seperti PT. Bakri Sumatera Plantation, PT. Agro Wiratama, PT Anam Koto di awal tahun 1990, PT. PHP, PT. Grasindo, PT. Pasaman Marama, PT. Inkut Agritama, PT. Usaha Sawit Mandiri, PT. Rimbo Panjang Sumber Makmur, PT. AMP Plantation, PT. Sago Nauli Pasaman dan lain-lain.
Sikap ceroboh dan tergiur dengan keuntungan kelompok, individu/ oknum di masyarakat dalam kerjasama pembukaan tanah ulayat membuat investor semakin senang merayu para tokoh-tokoh tertentu, untuk bekerjasama mengembangkan, perjanjian kerjasama pengelolan tanah ulayat, harmonisasi lingkungan sosial untuk cucu kemenakan. Seharusnya, menjadikan tanah-tanah ulayat berorientasi memberdayakan ekonomi cucu kemanakan kedepan.
Tidak hanya dalam penerimaan uang silih jari, tetapi segala bentuk persoalan mengenai pola kemitraan/ sistem bapak angkat. Ini seharusnya menjadi tanggung bersama termasuk mengenai hak-hak masyarakat dalam kerjasama. Karena, apabila terjadi sengketa dalam lingkungan tanah adatnya, dalam mencari solusi penyelesaian konflik agraria/ pertanahan tidak penting dipikirkan betul seperti sekarang ini.
Tapi, karena semua lepas kontrol dalam proses perizinan, pemberian ganti rugi, sistem pola kerja sama/ pola kemitraan, tanggung jawab sosial lingkungan (CSR), sampai dengan tahapan perpanjangan izin HGU. Di sinilah yang membuat penangganan konflik agraria/ pertanahan semakin ruyam dan bertahun-tahun.
Malahan, dokumen-dokumen perizinan/ perjanjian-perjanjian dibiarkan tanpa ada evaluasi baik mengenai kesuaian izin prinsip seperti luas HGU, IUP-B- IUPP/IUP ,izin AMDAL, pola kerjasama/ kemitraan dan lain-lain.
Di saat adanya wacana Bupati Pasaman Barat untuk meneliti kembali perizinan perusahan perkebunan kelapa sawit yang beoperasi di Pasaman Barat, menjadi pintu masuk untuk melakukan dialog dalam mencari win-win solution, kita berharap, perizinan sebagai alas hak pengelolaan lahan pertaniam dapat menjadi alat ukur.
Sama diketahui, kewenangan pemberian izin bidang usaha perkebunan kelapa sawit adalah lintas sektor, seperti Kementrian Pertanian, Kementrian Kehutanan, Kementrian Agraria, Pertanahan dan Tata Ruang, dan Pemerintah Daerah. Secara izin prinsip Undang – undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah merupakan kerangka acuan peraturan bagi pelaksanaan otonomi daerah. Tetapi, apabila ego lintas sektor sedikit dikurangi maka keberadaan perusahaan perkebunan ke depan bisa lebih menyejahterakan masyarakat luas.
Kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, adalah salah satu kewenangan daerah kabupaten bidang pertanahan sesuai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, terkait adanya agenda penyelesaian konflik agraria / pertanahan oleh bupati, sangat berwenang mengkaji izin-izin tertentu, pengadaan/ pengambilalihan tanah bisa menjadi tanggung jawab dari pemerintah kabupaten. Dalam rangka implementasi Undang – Undang Otonomi Daerah ini, telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan sebagaimana tertera dalam pasal 2 ayat ( 3 ) butir (14) sebagai antara lain : Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah. Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonomi meliputi kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengadaan tanah menjadi kewenangan Pemda, tetapi bila terkait dengan pemberian hak pengelolaan lahan perkebunan tentu kewenangan Kementerian Badan Agraria dan Tata Ruang/ BPN RI yang menjadi dasar hukum yaitu pasal 28 ayat 1 UUPA.
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan perkebunan, perikanan atau pertanian. Hak ini adalah Hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya.
Proses pemberian HGU itu sendiri adalah penyerahan tanah oleh pihak pemilik tanah (misalnya: ninik mamak) kepada perusahaan, HGU biasanya diberikan dalam jangka waktu 30 tahun, namun seringkali masyarakat salah kaprah, apabila masa 30 tahun itu habis, tanah yang statusnya HGU itu akan kembali menjadi hak mereka, padahal tanah tersebut tentunya dikembalikan kepada negara bukan milik adat lagi, dan boleh dimohonkan kembali perpanjangan pengelola HGU tanpa terbatas.
Selanjutnya, keinginan Bupati meneliti (me-review) dokumen-dokumen perizinan perkebunan tersebut, terkait dengan panduan penyelesaian konflik agraria/pertanahan ada Praturan Menteri Agraria dan Tata Ruang, Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Aturan ini memberikan ruang dan kewenangan kepada pejabat dan instansi tertentu termasuk keterlibatan anggota masyarakat dalam penyelesaian konflik.
Atas ini semua, kita berharap apabila Tim Harmonisasi penanganan konflik agraria/pertahaan antara masyarakat dengan perusahaan atau perusahaan dengan pemerintah daerah dibentuk, maka sudah selayaknya diisi oleh orang-orang/ pejabat/ tokoh-tokoh berbagai latar belakang yang paham tentang hubungan hubungan hukum dan hak-hak hukum atas tanah, berkompeten di bidang hukum pertanahan/ agraria, memahami konsep pemberdayaan masyarakat, serta punya integritas terhadap tim. (***)