arrow_upward

Kongres VI IKA Unand, Pilih Aklamasi atau Voting?

Rabu, 07 Juli 2021 : 16.31
Effendi

Oleh Effendi

Genderang kongres VI IKA Unand jelang hari puncaknya terus berbunyi. Di berbagai media pun terus pula diletuskan, termasuk para kandidat. Ada yang meletup-letup menyatakan siap benar pimpin IKA Unand hingga ada yang tenang-tenang saja. 

Kemeriahan menyambut alek para alummi Unand ini patut kita acungkan jempol. Salut dan angkat topi kita kepada panitia baik SC maupun OC yang bekerja maksimal. Segala lini diperkuat dan bergerak. Ibarat sebuah tim sepakbola, mulai penjaga kawang hingga penyerang, semuanya berkelas.

Puncak alek tersebut dilakukan pada 7 Agustus 2021. Dan yang berkembang sekarang soal pemilihan Ketum IKA Unand, aklamasi atau votingkah? 

Nah di sini menariknya. Secara normatif, kalau aklamasi ditempuh, maka semua pihak yang memiliki hak suara (sesuai dengan AD/ART IKA Unand tentunya), melakukan musyawarah untuk mufakat. Dan golnya menyepakati seorang kandidat menjadi Ketum IKA Unand.

Sebaliknya, kalau voting, tentu calon Ketum IKA Unand yang ditetapkan panpel (dua calon atau lebih), akan dipilih oleh pemilik hak suara dan yang meraih suara terbanyaklah yang akan menjadi Ketum IKA Unand. 

Dan yang kalah suara, terpaksa urut dada. Menerima sih menerima juga hasil tersebut. Tapi pihak yang kalah dan kelompoknya tentu akan malas, enggan dan berbagai alasan lainnya terhadap organisasi IKA Unand, walaupun diajak oleh kubu yang menang.

Kondisi ini tentu kurang baik untuk sebuah organisasi seperti perkumpulan atau paguyuban alumni, termasuk IKA Unand. Padahal tujuan IKA Unand itu dibentuk untuk menyatukan dan menghimpun semua alumni Unand yang tersebar di berbagai provinsi hingga belahan negara lain dengan profesi yang sangat beragam pula.

Publik tahu, alumni Unand itu hebat-hebat, mulai pejabat negara, tokoh politik, profesional, pengusaha dan lainnya yang dalam bingkai alumni itu (IKA Unand), selain sama-sama bertekad untuk lebih memajukan Unand, juga adanya regenerasi di beragam profesi itu. 

Tegasnya, kalau kita sedang mamacik, jika butuh seorang karyawan dan dalam proses rekrutmen tinggal tiga kandidat dan tiga kandidat itu pantas dan layak, maka aspek sealumni bisa jadi penentu.

Kadangkala kita iri juga melihat alumni perguruan tinggi lain yang diakui kekompakannya. Seperti Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Presiden RI Joko Widodo adalah alumni UGM dan para menteri juga cukup banyak alumni UGM. 

Dari beberapa referensi, saat pelantikan Kabinet Jokowi-Ma'ruf 22 Oktober 2019 tercatat ada 6 alumni UGM yang jadi menteri yaitu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Mensesneg Pratikno, Menlu Retno LP Marsudi,Menhub Budi Karya Sumadi, Menteri PUPR: Basuki Hadimuljono (UGM), Menkes: dr Terawan Agus Putranto.

Dan Ketum Kagama sendiri diserahkan kepada 'penguasa' di basis yaitu Ganjar Pranowo yang menjabat Gubernur Jawa Tengah. Hebatnya, kepercayaan lewat cara aklamasi itu, diberikan kepada Ganjar dua periode. Jarang-jarang ketua alumni dipilih dua kali. Tapi semua alumni sepertinya lebih melihat kepada aspek 'penguasa' di daerah sehingga sang gubernur kembali dipercaya pimpin Kagama pada 17 November 2019.

Kita yakin, banyak alumni UGM jauh lebih hebat, lebih berkuku, lebih tajir dan sebagainya ketimbang Ganjar Pranowo. Tapi bagi mereka, rasanya, bukan jabatan 'ketum alumni' yang dikedepankan. Tapi bagaimana alumni UGM yang bisa terhimpun dan berkontribusi buat almamater dan daerah.

Mereka mempercayakan kepada sang penguasa daerah untuk memimpin organisasi alumni. Tidak ada voting, tidak ada yang namanya pertarungan. Kalau jelang kongres, munas atau apalah namanya, alot dan rada-rada panas, itu biasa. Adem ayam saja, kan tidak bagus pula.

Dan sang penguasa daerah pun, karena dipercaya aklamasi untuk memimpin paguyuban alumni, tentu akan merangkul semua alumni. Dan para alumni diyakini akan beriya-iya dan kompak dalam bingkai alumni untuk berkontribusi memajukan almamater, daerah sekaligus memperhatikan alumni.

Andai sang penguasa daerah, dipercaya pimpin paguyuban alumni melalui voting dan pihak yang dikalahkan juga akan tetap dirangkul dan diajak memajukan organisasi, diyakini, hanya sekadar mengangguk saja, karena segan. Sekali lagi pihak yang kalah dan kubunya akan malas dan enggan. Padahal mereka adalah aset alumni. Dan ini sangat berpengaruh kepada kehadiran organisasi alumni sendiri.

Voting bisalah diterima kalau dalam perebutan ketua parpol, karena peran ketua sangat penting dalam Pileg dan Pilkada. Voting bisalah diterima dalam perebutan ketua organisasi olahraga, organisasi profesi karena peran ketua di sini sangat penting dan jelas ada ikutannya. Seperti tanda tangan ketua berlaku untuk mencairkan bantuan hibah dari APBN/APBD. 

Bahkan teranyar, perebutan Ketum Kadin Pusat dilakukan aklamasi. Padahal sebelum-sebelumnya selalu ditempug lewat voting. Dan memang organisasi pengusaha ini bergigi dan jadi rebutan untuk memimpinnya. Tak heran, jelang puncak pemilihan, para kandidat roadshow ke berbagai provinsi untuk mencari dukungan.

Langkah yang ditempuh Kadin lewat aklamasi itu adalah sebuah langkah maju. Dan dikaji secara akal sehat, memang di negara kita Indonesia, sesuai benar dengan sila ke empat Pancasila. Di Sumbar? Jauh sebelum Indonesia merdeka sudah menganut sistem musyawarah untuk mufakat. Cara ini memang lebih terhormat. Hasilnya lebih utuh dan bulat. 

Nah kembali ke Kongres VI IKA Unand. Sekarang tinggal pilih. Musyawarah mufakat atau voting?. 

Penulis alumni Universitas Andalas, jurnalis di Padang.







 




Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved