Padang, Analisakini.id-Tan Malaka adalah orang pertama yang mencetuskan konsep Republik Indonesia bahkan sebelum Sukarno dan Hatta dalam bukunya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia (1925). Buku inilah yang menginspirasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dkk untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari barisan yang lain.
Sementara itu, tokoh besar yang terlupakan ini, berjuang “sendirian” untuk memerdekakan Indonesia dari mulai menulis buku, membentuk kesatuan massa, berbicara dalam kongres internasional, ikut bertempur di lapangan melawan Belanda secara langsung, sampai akhirnya harus keluar-masuk penjara berkali-kali, diburu oleh interpol, dan kejar-kejaran sama polisi Internasional.
Kehidupan pria bernama lengkap Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka ini pernah diteliti oleh sejarawan Belanda bernama Harry Albert Poeze selama puluhan tahun. Poeze tidak hanya meneliti Tan Malaka lewat arsip-arsip kolonial di sekitar Leiden dan Amsterdam. Ia juga mendatangi negara-negara yang pernah menjadi tempat singgah Tan Malaka selain Indonesia seperti Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, juga Filipina. Ia bahkan ke Rusia untuk melacak arsip Comintern soal Tan Malaka di Moskwa.
Tan Malaka Tan Malaka adalah lulusan Kweekschool (Sekolah Guru) Bukittinggi. Berkat kecerdasannya, ia bersekolah di Belanda. Tapi, untuk bersekolah di sana, ia sempat meminjam dana dari orang-orang sekampungnya dan mendapat bantuan dari mantan gurunya. Pada awalnya, pria kelahiran 2 Juni 1897 ini ingin mendapatkan akte untuk jadi kepala sekolah, tetapi karena sakit, ia hanya mendapatkan akte guru biasa.
Ketika selesai mengenyam pendidikan, ia pun pulang ke Indonesia dan mengajar anak-anak kuli perkebunan teh di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Dia kemudian merantau ke Jawa dan pergi ke Semarang. Di sana, dia ikut Sarekat Islam cabang Semarang dan sempat membangun sekolah di Semarang. Sebelum diusir dari Hindia Belanda, Tan Malaka juga sempat memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Semasa hidupnya, Tan Malaka hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara yang lain, termasuk Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet. Di negara itu, Tan menjadi anggota Comintern (anggota Komunis Internasional). Ia sempat berselisih dengan penguasa Uni Soviet, Joseph Stalin dan dituduh sebagai Trotskys. Sebelum Perang Dunia II, Tan Malaka hidup dalam penyamaran sekitar Asia Tenggara.
Dalam masa-masa itu, ia pun menggunakan banyak nama samaran seperti: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong. Di akhir masa pendudukan Jepang, dia menyamar sebagai mandor di Banten dan menghabiskan waktu untuk menulis karya besarnya, Madilog.
Di masa revolusi, Tan Malaka dianggap otak dari Peristiwa 3 Juli 1946. Dia menentang hasil perundingan Republik Indonesia dengan Belanda. Saat itu, Tan Malaka menuntut Merdeka 100 persen. Tan Malaka terlibat dalam Persatuan Perjuangan bersama Jenderal Sudirman. Tan Malaka juga pernah mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Partai ini pernah ikut Pemilu 1955, namun dibekukan pada tahun 1965.
Tan Malaka terbunuh sekitar Februari 1949. Tan Malaka tewas ditembak oleh pasukan militer Indonesia tanpa pengadilan di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, pada 21 Februari 1949. Eksekustornya berasal dari Brigade Sikatan atas perintah petinggi militer Jawa Timur. Tan Malaka dibunuh karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah yang bersikap moderat dan penuh kompromi terhadap Belanda.
Dalam perjalanannya, ada keinginan kaum kerabat Tan Malaka di Limapuluh Kota dan didukung pemerintah setempat untuk memindahkan makam sang pahlawan ke tanah kelahirannya. Sempat menimbulkan prokontra hingga akhirnya panitia penjemputan jasad Ibrahim Datuk Tan Malaka membuka motif sesungguhnya pemindahan makam sang pahlawan. Ternyata makam tersebut tidak benar-benar dipindah seperti yang dikhawatirkan pemerintah Kediri.
Salah satu panitia penjemputan yang juga pegiat Tan Malaka Institute, Habib Datuk Monti, mengatakan pemindahan jasad Ibrahim Datuk Tan Malaka dari Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, bukanlah tujuan utama gerakan ini. “Kami menuntut pengakuan pemerintah atas kepahlawanan Ibrahim Datuk Tan Malaka, itu saja,” kata Monti seperti dikutip dari tempo.co, Sabtu, 4 Februari 2017.
Kondisi inilah yang membuat para pencinta dan pelestari pemikiran Tan Malaka melakukan gerakan penjemputan jasad Tan Malaka, bersama-sama masyarakat Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Upaya ini pun dianggap berhasil setelah pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Sosial pada akhirnya mengunjungi makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, dan melakukan kajian.
Senin, 27 Februari 2017, bongkahan tanah dari makam Ibrahim Datuk Tan Malaka tiba di Sumatera Barat dari Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Hari itu, bongkahan tanah dari makam Tan Malam di Kediri ditempatkan dalam sebuah peti yang dilapisi bendera Merah Putih. Dilansir dari BBC Indonesia, peti tersebut diarak beramai-ramai menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.
Peti mati berisi bongkahan tanah tersebut kemudian disemayankan di rumah Tan Malaka lalu disandingkan dengan makam, sang ibu yang terletak 10 meter di depan Masjid Djamik Pandam Gadang. Warga kemudian saalt gaib dan zikir bersama untuk Tan Malaka.
Pada Jumat, 14 April 2017, 'makam' pahlawan nasional Indonesia, Tan Malaka, diresmikan di Nagari Pandam Gadang. Ini bukan makam yang sebenarnya karena yang ditempatkan di sini bukan jasad tapi bongkahan tanah yang diambil dari makam asli Tan Malaka di Kediri, Jawa Timur.
Meski demikian Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota tetap mengklain bahwa 'makam' ini adalah makam Tan Malaka. "Kita orang Minang menyatakan, makam Tan Malaka adalah di Pandam Gadang ... insya Allah Tan Malaka sudah bersama kita," kata Wakil Bupati Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan ketika itu.
Makam Tan Malaka disandingkan di antara makam ayahnya, H.M. Rasad Bagindo \Malano, di sebelah kanan, dan makam ibunya, Rangkayo Sinah, di sebelah kiri. Makam itu sendiri ditempatkan sekitar 10 meter dari rumah kelahiran Tan Malaka di Nagari Pandam Gadang. Sementara berjarak sekitar lima meter sebelah kiri dari kuburan tersebut ditempatkan patung Tan Malaka yang terbuat dari perunggu.
Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No.53 yang ditandatangani pada 28 Maret 1963. (***)