Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. |
Jakarta, Analisakini.id - Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas soal Kementerian Agama (Kemenag) adalah hadiah dari negara untuk NU menuai kritik dari berbagai penjuru. Tak terkecuali oleh PBNU, organisasi asal Yaqut.
Pernyataan mantan Ketua Umum GP Anshor itu dikoreksi oleh PBNU, melalui Sekjen Helmy Faishal Zaini yang mengatakan bahwa Kementerian Agama atau Kemenag merupakan hadiah negara untuk semua agama. “Bukan hanya untuk NU atau hanya untuk umat Islam,” kata Helmy dalam keterangannya, Senin (25/10/2021) seperti dikutip dari tempo.co.
Pernyataan kontroversial soal Kemenag adalah hadiah untuk NU diungkap Yaqut pada acara saat membuka Webinar Internasional Santri Membangun Negeri yang digelar Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan PBNU dalam rangka memperingati Hari Santri, yang disiarkan secara langsung di Kanal YouTube TVNU Televisi Nadhlatul Ulama pada 20 Oktober 2021.
Menurut Yaqut lahirnya Kementerian Agama karena keterlibatan NU dalam mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
“Kementerian Agama itu muncul karena pencoretan tujuh kata dalam piagam Jakarta. Yang mengusulkan itu menjadi juru damai dari Nadhlatul Ulama kemudian lahir kementerian agama,” kata Yaqut.
Belakangan Yaqut meralat ucapannnya. Menurut Yaqut pernyataannya itu dalam konteks untuk memberi motivasi kepada santri. Yaqut mengibaratkan ucapannya itu seperti obrolan pasangan suami istri yang menyatakan dunia hanyalah milik berdua.
Lalu bagaimana sejarah pembentukan Kemenag pada masa awal kemerdekaan?
Melansir dari laman Kementerian Agama, kemenag.go.id, pembentukan Kementerian Agama pertama kali diutarakan oleh Muhammad Yamin dalam Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI pada 11 Juli 1945.
Dalam pertemuan tersebut Muhammad Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yang berhubungan dengan agama.
Menurut Muhammad Yamin, jaminan untuk agama Islam tidak cukup hanya dengan Mahkamah Tinggi saja, oleh sebab itu harus diwujudkan secara khusus berdasarkan kepentingan agama Islam.
“Urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, wakaf dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementerian yang istimewa, yaitu yang kita namai Kementerian Agama,” katanya.
Realitas politik menjelang dan masa awal kemerdekaan menunjukkan, pembentukan Kementerian Agama tidaklah mudah dan membutuhkan perjuangan sendiri.
Di saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI melangsungkan sidang pada 19 Agustus 1945 untuk membahas pembentukan kementerian atau departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh anggota PPKI Johannes Latuharhary yang menolak pembentukan Kementerian Agama tersebut.
Menurut Bernard Johan Boland penolakan pembentukan Kementerian Agama dalam kabinet Indonesia yang pertama, telah meningkatkan kekecewaan di kalangan umat Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan terkait dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam Jakarta.
Penolakan tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, sebagaimana diungkapkan K.H.A. Wahid Hasyim dalam buku Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, saat itu banyak kalangan yang menganut teori, agama dan negara harus dipisahkan.
“Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam praktiknya berlainan,” tulisnya.
Selang antara Agustus hingga November 1945, Wahid Hasyim mengungkapkan soal-soal agama yang di dalam praktiknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa departemen tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Oleh sebab itu, soal-soal keagamaan perlu dikhususkan dalam satu departemen untuk memisahkannya dari soal-soal lainnya tersebut. “Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara,” tulis Wahid Hasyim.
Usulan pembentukan Kementerian Agama kembali digaungkan pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP yang diselenggarakan pada 25-27 November 1945.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir ini membahas terkait laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan, Ketua, Wakil Ketua BP KNIP yang baru dan tentang jalannya pemerintahan.
Usulan pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang merupakan anggota KNI dari partai politik Masyumi.
Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy, mengusulkan agar urusan agama jangan dicampur dengan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, tetapi dibentuk kementerian sendiri yakni Kementerian Agama.
Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang khusus dan tersendiri,” kata Saleh Suaidy dalam sidang tersebut.
Usulan tersebut mendapat dukungan dari anggota KNIP lain, khususnya dari partai Masyumi, di antaranya Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki Mahdi, dan M. Kartosudarmo.
Secara aklamasi sidang KNIP menerima dan menyetujui usulan pembentukan Kementerian Agama. Setelah Wakil Presiden Mohammad Hatta mendapatkan isyarat dari Presiden Soekarno, Bung Hatta langsung berdiri dan mengatakan, “Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah.”
Pada mulanya terjadi diskusi soal nama kementerian, apakah Kementerian Agama Islam atau Kementerian Agama. Tetapi akhirnya diputuskan nama Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama atau Kemenag dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama. (***)