Oleh : Kasrizal
(Kasi Verifikasi dan Akuntansi KPPN Padang)
Beberapa peraturan yang menjadi rujukan dari penyusunan dan petunjuk teknis dari rekonsiliasi adalah, 1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.05/2013 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 215/PMK.05/2016 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 213/PMK.05/2013 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
Kemudian 2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 104/PMK.05/2017 tentang Pedoman Rekonsiliasi dalam Penyusunan Laporan Keuangan Lingkup Bendahara Umum Negara dan Kementerian Negara/Lembaga; dan 3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 171/PMK.05/2020 tentang Pelaksanaan Sistem SAKTI.
Dalam hal melakukan pertanggungjawabkan terhadap Pelaksanaan APBN, setiap entitas akuntansi haruslah menyusun Laporan Keuangan, baik sebagai Satker yang ada di tingkat Kementerian untuk menghasilkan LKKL (Laporan Keuangan Tingkat Kementerian/Lembaga) maupun sebagai Pemerintah yang dikenal sebagai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang sudah termasuk LK BUN (Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara) dan beberapa entitas Akuntansi Pusat Lainnya.
LKLL dan LKPP adalah dokumen yang akan digunakan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai dasar menetapkan/mengeluarkan opini terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Agar laporan tersebut sesuai dengan ketentuan tentunya perlu upaya melakukan pembukuan atau penatausahaan dengan benar, sehingga saat dilakukan rekonsiliasi antara KPPN sebagai BUN (Bendahara Umum Negara) dengan Satker (Satuan kerja) akan menghasilkan data yang sama dan tidak terjadi anomali saat dilakukan rekonsiliasi.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/sub sistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama. Biasanya dilakukan oleh entitas akuntansi yang wajib menyusun Laporan Keuangan, agar akurasi dan validitas data dapat diyakini kehandalannya guna meraih opini WTP (Wajar Tanpa Pengeculaian) LKPP dari BPK RI.
Saat ini rekonsiliasi dilakukan menggunakan Aplikasi SPAN (Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara), dimana user nya ada pada KPPN selaku BUN-Daerah dengan mengintegrasikan data yang dicatat oleh Satker melalui aplikasi SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi) dimana user nya ada pada masing-masing entitas pelaporan dalam hal ini adalah Satker.
Sekilas tentang kegiatan rekonsiliasi sebelum menggunakan aplikasi SPAN dengan SAKTI. Dulu kita mengenal Rekonsiliasi, melalui fasilitas e-rekon. Rekonsiliasi waktu itu dibutuhkan untuk mencocokkan data yang tercatat di Satuan Kerja/Pengguna Anggaran sebagai lini terdepan dari Kementerian Lembaga masing2, sudah sama dengan yang dicatat oleh Kementerian Keuangan di KPPN atau dikenal dengan istilah SAI (Sistem Akuntansi Instansi) dengan SIAP (Sistem Akuntansi Pusat).
Data yang dikompilasi oleh K/L dari seluruh satuan kerja di bawahnya (setelah melalui proses rekonsiliasi dengan masing-masing KPPN Pembayar), akan dicocokkan Kembali dengan Data yang dihimpun oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat APK Ditjen Perbendaharaan, melalui Rekonsiliasi antar K/L – Kemenkeu. Kalau itu, selisih yang terjadi sangatlah besar jumlahnya, dan jika ditelusuri ke bawah, pastilah karena kurang cermatnya Satuan Kerja dalam melakukan pencatatan dan kurang disiplin saat melakukan Rekonsiliasi.
Setelah SPAN dan SAKTI diimplementasikan full modul mulai tahun 2022, apakah poses rekonsiliasi masih tetap harus dilakukan?
Seperti kita ketahui bahwa SPAN dan SAKTI menggunakan Database yang sama (Single Database), sehingga tidak mungkin akan ada perbedaan data. Akan tetapi, pada saat proses penatausahaan pendapatan, terutama Pendapatan yang menggunakan aplikasi MPN G3 (Modul Penerimaan Negara Generasi 3), bukti penyetorannya tetap harus diinput di aplikasi SAKTI oleh bendahara Penerimaan. Disinilah timbul adanya perbedaan saat pencatatan.
Sering ditemukan ada perbedaan data saat mencatat penerimaan yang diperoleh oleh Satker diantaranya 1).Operator salah dalam mencatatkan nominal jumlah setoran pendapatan di aplikasi SAKTI, 2) Terdapat pihak ketiga yang melakukan penyetoran, dan salah dalam menginput kode Satker;
3) Terdapat Setoran Pengembalian Pendapatan yang tidak lengkap dalam mengisi kode uarian Program, sub program dan kegiatan, sehingga terdapat selisih COA (Chart of Account) atau Bagan Akun Standard.
Kemudian, 4) Akun yang tidak tepat, 5) Terdapat kasus dimana Satker berbeda antara penyetor dengan pelaksana atau pelaku pendapatan. Contoh : kasus suatu satker melakukan lelang Aset melalui KPKNL, setoran PNBP hasil lelang tersebut yang tidak terkomunikasikan ke Satker;
Lalu 6.) Selisih pencatatan akibat perbedaan tanggal setor dengan tagihan masuk kas negara yang dicatat oleh KPPN Khusus Penerimaan;
Dan lain lain penyebab selisih pendapatan, 7) Dari gambaran tersebut di atas, tentulah dapat dipahami bahwa pelaksanaan rekonsiliasi untuk setiap Satker sebagai entitas akuntansi yang diharuskan melakukan penyajian pelaporan keuangan yang baik, tetaplah harus dilakukan, walaupun saat ini system SPAN di KPPN dan SAKTI di Satker sudah terintegrasi secara penuh.
Saat ini SHR (Surat Hasil Rekonsiliasi) akan terbit dan siap download apabila tidak terdapat selisih pada seluruh elemen data atau TDK (Transaksi Dalam Konfirmasi) berupa TDK Rupiah dan TDK CoA (Chart of Account) yang merupakan penyajian selisih data antara nilai yang tercatat pada SPAN dengan nilai yang tercatat pada SAKTI yang memerlukan tindak lanjut hingga tingkat CoA, dan pencatatan tanggal serta nomor dokumen sumber.
Di samping kehati-hatian entitas pelaporan pada Satker mencatat dokumen-dokumen belanja dan penerimaan pada aplikasi Sakti, Satker juga diharapkan selalu memantau dan mencermati menu “To Do List” yang ada di Beranda SAKTI, serta Menu Rekonsiliasi yang otomatis memberikan catatan apabila terdapat TDK Rupiah maupun TDK COA yang tidak sama, dan harus diperbaiki terlebih dahulu.
Beberapa jenis TDK yang akan mengakibatkan tidak terbitnya SHR Satker adalah a) TDK Rupiah merupakan penyajian selisih data secara nilai rupiah (Nilai SPAN dan Nilai SAKTI) per elemen data rekonsiliasi; b). TDK CoA merupakan penyajian selisih data antara Nilai SPAN dan Nilai SAKTI yang memerlukan tindak lanjut hingga tingkat CoA;
Selanjutnya, c.) TDK Detail merupakan penyajian selisih data antara Nilai SPAN dan Nilai SAKTI yang memerlukan tindak lanjut hingga tingkat CoA dan pencatatan tanggal serta nomor dokumen sumber.
Namun SHR bisa diterbitkan disebabkan oleh : 1) Data Setoran/Belanja Belum Masuk ke SiAP; 2) Data Koreksi Dibukukan Berbeda antara Satker dengan KPPN;3) Data Jurnal Balik pada SAKTI tidak sesuai (Satker Salah Melakukan HapusPencatatan); 4) Data Setoran Tidak Diakui Satker dengan Surat Pernyataan Tidak Mengakui; 5) Data estimasi PNBP SAKTI sudah benar sesuai dokumen sumber;
Berikutnya, 6) Selisih disebabkan Perbedaan Perlakuan Pembulatan SP2D Valas SAKTI dengan SPAN; 7) Selisih karena Data SAKTI Double; 8) Selisih Belanja karena Sisa Pagu tidak mencukupi ketika Kurs SP2D. Satker agar memantau status hasil rekonsiliasi secara berkala pada Aplikasi MonSAKTI, hingga terbitnya dokumen Surat Hasil Rekonsiliasi. Dalam rangka penerbitan SHR di tahun 2022, Satker belum diwajibkan untuk melakukan tutup buku pada Modul GLP perbulannya.
SHR akan terbit dalam hal: a) Tidak terdapat selisih pada seluruh elemen data rekonsiliasi (TDK Rupiah dan TDK CoA); b) Terdapat persetujuan dari KPPN atas permintaan penyelesaian selisih/TDK yang bukan disebabkan kesalahan dari Satker.
Penjelasan tentang Alur Proses Rekonsiliasi Tingkat UAKPA/Satker dan KPPN. Alur proses rekonsiliasi pada tingkat UAKPA/Satker sebagai berikut :a) Satker mengakses alamat https://monsakti.kemenkeu.go.id/;
b.) Satker login menggunakan user SAKTI masing-masing Satker (role useroperatormodul GLP); c) Satker mengakses menu Rekonsiliasi >> Rekonsiliasi SAKTI-SPAN; d) Satker melakukan analisis atas perbedaan data pada kolom TDK (TDK Rupiah, TDKCoA) yang berwarna merah dan data pada TDK Detail;
Lalu, e) Berdasarkan hasil analisis, satker menindaklanjuti selisih/perbedaan data melalui perbaikan pada Aplikasi SAKTI; f) Setelah melakukan perbaikan atas perbedaan/selisih data pada Aplikasi SAKTI, maka secara sistem data perbaikan akan ter-update pada Aplikasi MonSAKTI pada hari berikutnya setelah melalui proses OLAP system;
Kemudian, g.) Setelah melakukan perbaikan pada Aplikasi SAKTI, satker memastikan di Aplikasi MonSAKTI pada kolom TDK (TDK Rupiah, TDK CoA dan TDK Detail) tercantum angka 0 (tidak terdapat selisih). Selanjutnya sistem secara otomatis akan menerbitkan SHR pada masing-masing periode jika pada TDK Rupiah dan TDK CoA tidak terdapat selisih;
h) Dalam hal terdapat selisih yang bukan disebabkan kesalahan pencatatan pada AplikasiSAKTI, Satker dapat memintakan persetujuan dengan catatan ke KPPN dengan cara melakukan klik tombol pada kolom Aksi (pojok kanan), dan memilih alasan permintaan persetujuan rekonsiliasi dari KPPN sebagaimana penjelasan pada huruf A angka 5 huruf c di atas;
i) Satker menunggu analisis/pengujian yang dilakukan oleh KPPN atas permintaan persetujuan dengan catatan; j) Apabila KPPN menolak permintaan persetujuan dengan catatan, maka Satker tetap harus melakukan perbaikan hingga tidak terdapat selisih pada masing-masing periode permintaan persetujuan, namun apabila KPPN menyetujui maka SHR tetap dapat diterbitkan dengan catatan.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan walaupun antara SPAN dan SAKTI mempunyai database yang telah terintegrasi, namun rekonsiliasi (Rekon) harus selalu dilakukan yang disebabkan oleh adanya data yang anomali, karena kesalahan pencatatan oleh entitas pelaporan pada Satker yang menggunakan aplikasi SAKTI yang utamanya pencatatan jumlah dan nomor, serta Akun pada saat melakukan penyetoran penerimaan ke Kas Negara.*)
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi dimana penulis bekerja.