Keharmonisan antar umat beragama tercermin di Pasar Tanah Kongsi, Kota Padang. (kominfo). |
Oleh: Mizwa & Charlie
PADANG-Kehidupan bertoleransi di Padang sangat nyata adanya. Keberagaman sudah lama ada. Keharmonisan selalu terjaga baik.
Kota Padang tidak hanya dihuni oleh etnis Minang. Di kota ini juga dijumpai etnis lainnya misalnya etnis Tionghoa yang ada di kawasan pecinan, Kelurahan Kampung Pondok. Saat Tim Diskominfo berkunjung ke Pasar Tanah Kongsi, sejumlah pedagang dan pembeli melakukan aktivitas jual beli.
Pasar Tanah Kongsi yang terletak di Jalan Kelenteng, Kampung Pondok Kecamatan Padang Barat menjadi saksi indahnya toleransi di Kota Padang. Kawasan ini dikenal dengan pecinan yang lazim disebut masyarakat dengan sebutan Kampung Cina. Di pasar inilah keberagaman dan hubungan antar etnis terjalin dengan harmonis.
Akses menuju Pasar Tanah Kongsi tidak dekat jalan raya, diapit gang, berada di kawasan rumah penduduk. Pasar Tanah Kongsi dapat diakses lewat jalan Kelenteng, jalan Niaga atau perumahan penduduk. Letaknya juga tidak jauh dari Kelenteng See Hin Kiong yang merupakan kelenteng tertua di Padang.
Pasar Tanah Kongsi mulai beroperasi dari pagi hingga sore, berbagai macam kebutuhan dijual di pasar ini. Mulai dari makanan, minuman, buah-buahan, sayur, ikan, daging dan lainnya
Tak hanya itu, di pasar ini juga tersedia daging babi di los khusus. Kobas, salah seorang pedagang daging babi menyebutkan bahwa selama ini tidak pernah terjadi persaingan antar pedagang.
"Semua aman dan tentram, baik dari orang Minang atau Tionghoa, akur-akur saja selama berjualan," terangnya.
Kobas juga menjelaskan di pasar ini hidup berdampingan antara masyarakat Tionghoa dengan etnis lain, muslim dan nonmuslim.
"Pedagang yang berjualan disesuaikan dengan los berdasarkan jenisnya. Untuk sayuran, ayam, daging sapi beda pula losnya," lanjutnya.
Pembagian los berdasarkan jenis, bertujuan agar air daging babi tidak bersentuhan dengan bahan makanan dan pedagang lainnya yang mayoritas orang Minang dan beragama Islam.
"Bahkan di los kami terpampang dengan jelas ada tulisan los daging babi," ungkapnya.
Erita, yang merupakan seorang penjual sayur menyebutkan dirinya berjualan di Pasar Tanah Kongsi sudah hampir 12 tahun.
"Tidak ada konflik, meski berbeda kita tetap akur. Untuk jenis yang dijual itu sudah tertata rapi, dikelompokan. Daging sapi los-nya di dalam, kalau daging babi itu di belakang," terang Erita
Kendati demikian, perbedaan tidak menjadi pengahalang untuk menjalankan hidup dengan penuh rasa aman dan ketentraman. Hubungan antaretnis terjalin dengan harmonis yang disatukan dalam aktivitas jual beli.
Yeyen, seorang pembeli dari keturunan Tionghoa menyebutkan di Pasar Tanah Kongsi semua pedagang dan pembeli berbaur dengan baik.
"Tidak pernah memandang perbedaan, dilayani dengan baik sehingga berbelanja menjadi nyaman. Terlihat kompak dan harmonis," ucap Yeyen.
Bukan hanya itu, keanekaragaman budaya dan agama juga tercermin dari Kota Padang. Bukti nyata toleransi tersebut ditemukan dua tempat ibadah yang berseberangan yaitu Masjid Al-Hakim dan Vihara Buddha Warman. Kedua tempat ibadah yang berdekatan dan berseberangan jalan itu menjadi saksi toleransi terjalin antara umat Muslim dan umat Budha.
Ketua Pengurus Vihara Budha Warman, Sudharma menyebutkan awal mulanya vihara ini berada di kawasan Jalan Kelenteng. Kemudian pada 1980 Vihara ini dipindahkan ke Jalan Muara.
"Dulu itu namanya Cetiya, sekarang sudah menjadi Vihara. Artinya sudah 43 tahun vihara ini berdiri, sementara Masjid Al-Hakim itu baru dibangun tiga tahun yang lalu. Warga di Kelurahan Berok Nipah ini sudah menyatu dan berbaur dengan perbedaan tersebut, mereka saling membantu" katanya.
Sudharma menjelaskan tidak ada masalah selama hidup berdampingan dengan beragam perbedaan. Bahkan di perayaan Idulfitri, halaman Vihara Budha Warman dijadikan lahan parkir bagi umat Muslim yang merayakan lebaran.
Katanya, Vihara Budha Warman merupakan Budhist Centre (pusat atau wadah bagi umat Budha untuk mempelajari ajaran Budha) di Padang.
"Pada bulan Ramadhan jika di masjid dikenal degan program pesantren ramadan, maka di vihara itu namanya bina widya dan retret hidup berkesadaran. Diikuti selama satu minggu penuh hingga malam bahkan ada yang menginap di vihara," jelasnya.
Bentuk kerukunan tercipta karena adanya saling menghargai dan menghormati perbedaan, sehingga terbentuk keharmonisan dalam hidup yang dijaga dengan baik. Inilah bukti nyata betapa harmonis dan indahnya toleransi di Padang.**