Wakil Ketua DPRD Sumbar Suwirpen bersama Gubernur
Mahyeldi, saat memberikan penghargaan kepada Mantan Gubernur Gamawan Fauzi saat
malam resepsi Hari Jadi Sumbar ke-78. (ist)
PADANG, ANALISAKINI.ID--Sumatera Barat, harus tetap diupayakan
menjadi daerah yang terus melahirkan pemikir-pemikir ulung. Makanya, perlu
tekad yang kuat, motivasi dan kebersamaan untuk mempertahankan dan mewujudkan
hal itu.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat Suwirpen Suib, mengatakan hal
tersebut saat menghadiri malam resepsi Hari Jadi Sumbar ke-78, Minggu
(1/10/2023) di auditorium gubernuran.
Suwirpen mengatakan, dari sejarahnya masyarakat Minang dikenal dengan tempat
lahir pemikir-pemikir ulung. Sebut saja M.Yamin yang gagasannya menjadi
pemantik anggota sembilan untuk melahirkan Piagam Jakarta, sehingga menjadi
cikal bakal lahirnya Pancasila pada Juni 1945.
"Ada Mohammad Hatta, wakil presiden pertama yang dikenal sebagai bapak
ekonomi Indonesia," katanya.
Adalagi Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang pemikiran progresifnya menjadi
pelecut bagi kaum revolusioner Indonesia (bahkan pemikirannya masih hidup dan
menjadi bagian kerangka kritis dari sebagian kaum pergerakan hari ini).
"Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih populer dipanggil Buya
Hamka, seorang ulama yang menjadi panutan bagi tokoh-tokoh pendiri bangsa
diakhir hidup mereka. Masih ada lagi, Agus Salim yang terkenal dengan
keterampilan berdiplomasi dan teknik lobby yang tinggi," katanya.
Dia mengatakan, ada ungkapan bagi masyarakat Minang yang masih sering
disebutkan sampai hari ini, yakni "urang Minang tu, taimpik nak diateh,
takuruang nak dilua". Bila diartikan sepintas, maka sebagian besar orang
menyimpulkan arti dari ungkapan tersebut dalam konotasi negatif, yaitu
‘cadiak buruak/caliah’ alias licik.
Namun, bila diurut secara terminologi, kata tersebut mengisaratkan
masyarakat Minang harus berfikir progresif dan solutif, penuh makna yang perlu
diartikan secara mendalam.
Di Minang sedari kecil sudah diajarkan kato nan ampek, yang dimaknai
sebagai pengklasifikasian cara berbicara orang Minang. Bagaimana cara berbicara
dengan orang lebih tua, cara berbicara dengan orang lebih kecil, cara berbicara
dengan orang seumuran dan cara berbicara dengan orang yang disegani.
Namun, budaya tersebut bak seperti hilang entah kemana. Fenomena masyarakat
Minang hari ini, lebih mendahulukan ucapan daripada berfikir yang kemudian
akhirnya berujung pada hujatan.
"Bila ditelusuri, group media sosial masyarakat Minang hari ini,
hampir merata hanya berisikan cacian dan makian, dan lebih memprihatinkan lagi,
masyarakat mudah termakan provokasi oleh berita-berita hoax," katanya.
“Sebagai orang yang hidup dalam masyarakat Minang, saya merasakan bagaimana
pentingnya budaya harus dilestarikan. Dengan lestarinya budaya Minang, seperti
perhatian yang besar terhadap pendidikan dan sekolah baik formal maupun non
formal dan budaya hidup badunsanak, seharusnya dapat meng menghilangkan sifat
caci maki yang marak belakangan ini,” sambungnya. (n-tt-rel)